- Back to Home »
- Seputar Ke-Islaman , Umum »
- Download Ebook Kesesatan Syiah
Posted by : Ryan95
Monday, 8 June 2015
Akhir-akhir ini, para penganut, pendukung, dan pejuang Syiah di Indonesia merasa di atas angin. Selain terbitnya buku "Syiah Menurut Syiah, 2014" oleh organisasi resmi Syiah, Ahlul Bait Indonesia (ABI) yang diberi kata pengantar oleh Bapak Menteri Agama, Drs. H. Lukman Hakim Saefuddin, juga dihelatnya sebuah acara Konferenasi Internasional Gerakan Ekstrimisme dan Takfiri dalam Pandangan Ulama Islam "World Congress on Extremist and Takfiri Movements in the Islamic Scholar's View" (23-24/11/2014) di Kota Qum Iran yang dihadiri 80 negara yang disaring dari 2000 tokoh di seluruh dunia, lalu dipilah dan diundang sekitar 420, dan akhirnya yang hadir 315 orang, dengan prosentase 40% Syiah dan 60% Ahlussunnah, tokoh-tokoh tersebut diambil dari mereka yang punya pengaruh dari kalangan ulama, intelektual, dan akademisi, yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan serta melawan segala bentuk ekstrimisme takfiri, (www.abna.com. 23/11/2014).
Dari Sulawesi, ada beberapa tokoh
akademis dan ulama yang turut diundang ke acara konferensi internasional
tersebut. Melihat tema konferensinya, secara substansial pasti kita setuju
semuanya, karena menekankan persatuan (al-ittihad), persaudaraan antarsesama
muslim (ukhuwwah islamiyah), mereduksi segala bentuk kekerasan tanpa alasan
syar'i, bahkan mengkafirkan sesama muslim tanpa merujuk pada ketetapan dalil
baik Al-Qur'an, sunnah, dan fatwa para ulama muktabar.
Namun persoalannya tidak sampai
di situ. Kedatangan para ulama dan akademisi dari kalangan Ahlussunnah ke Qom,
Iran untuk menghadiri konferensi internasional tersebut menjadi bahan jualan
para penganut dan pejuang Syiah Indonesia, lebih khusus yang kuliah di Iran dan
mendapat beasiswa.
Ismail Amin misalnya, selain
menulis artikel di koran-koran lokal Makassar, Ulama Susel dan Islam Rahmatan
Lil-Alamin,(Tribun Timur. 28/11/2014); Pesan Perdamaian dari Rakyat Persia,
(Harian Fajar, 29/11/2014) dengan menyebut sederet tokoh lintas organisasi dan
lembaga pendidikan di Susel yang turut hadir dalam perhelatan ilmiah tersebut.
Umpama nama-nama, Prof. Dr. Qadir Gassing sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar
Prof. Dr. Arifuddin Ahmad, sebagai Dekan Fak. Ushuluddin dan Filsafat, Dr.KH.
Mustamin Arsyad, atas nama MUI Makassar, dan seabrak nama tokoh lainnya, lokal
maupun nasional.
Persoalannya semakin rumit,
karena ia memaksakan kehendak--setidaknya dalam berbagai pernyataannya di media
sosial, Facebook--bahwa kedatangan para ulama dan tokoh tersebut sebagai bentuk
kekagumannya atas para ulama di Iran, bahkan menurut pria yang mengaku kuliah
di Mostafa University of Iran, banyak dari ulama kita yang antre untuk hanya
sekadar cipika-cipiki dengan para Ayatollah.
Kekaguman para ulama dan tokoh
akademis, baik lokal (Makassar) maupun nasional, kepada ulama Syiah Iran
dimanfaatkan sebagai legitimasi keshahihan ajaran Syiah, sekaligus sebagai
propaganda penyebaran Syiah di Indonesia. Dan ini memang sudah menjadi taktik
Syiah dalam melanggengkan penyebaran faham mereka di tengah masyarakat
Ahlussunnah. Bahkan, nama saya pun dibawa-bawa yang konon sangat tertarik untuk
berkunjung ke Iran, namun karena permasalahan visa sehingga tidak dapat
mengunjungi negeri para mullah itu. Tentu saja, ini adalah tuduhan tak berdasar
rekaan Ismail Amin.
Padahal sejatinya, para ulama,
terutama dari Makassar yang berangkat ke Iran untuk menghadiri konferensi
Internasional tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan legitimasi ajaran Syiah
dan dukungan penyebarannya di kalangan masyarakat berpaham Ahlussunnah.
Kedatangan mereka jelas dengan tujuan mulia, ukhuwah islamiyah dan mereduksi
kekerasan atas nama agama.
Karena itu, perbuatan konyol,
bahkan sebuah fitnah yang keji jika harus menjual nama para tokoh dan ulama
kita untuk melegitimasi ajaran sesat Syiah, yang sudah difatwakan kesesatannya,
mulai dari Imam Syafi'i pada abad ke-3 Hijriah hingga penganut mazhab Syiafi'i
abad ke-15 Hijriah ini.
Karena para pengusung dan
pengasong aliran sesat Syiah di Indonesia banyak menjual nama-nama tokoh dan
ulama untuk melegitimasi dan menjustifikasi kebenaran ajaran mereka, supaya
dapat disebarkan dengan mudah dan diterima masyarakat umum. Maka ada baiknya
jika kita kembali menoleh ke masa lalu. Khususnya mengangkat pemikiran dan
pemahaman ulama muktabar kita, yang telah diakui kepakarannya oleh para
ilmuan, Timur maupun Barat. Salah satunya adalah Ibnu Khaldun (1332-1406 M).
Dalam Magnum Opusnya, yang diberi judul "Al-Muqaddimah" sebagai pengantar kitab induknya "Al-Ibar, wa Diwan Al-Mubtada' wa Al-Khabar, fi Ayyam Al-'Arab wa Al-'Ajam wa Al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi As-Sulthani Al-Akbar".
Dalam Magnum Opusnya, yang diberi judul "Al-Muqaddimah" sebagai pengantar kitab induknya "Al-Ibar, wa Diwan Al-Mubtada' wa Al-Khabar, fi Ayyam Al-'Arab wa Al-'Ajam wa Al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi As-Sulthani Al-Akbar".
Tentang kehebatan dan derajat
keilmuan Ibnu Khaldun, saya kutip perkataan seorang orientalis sekaligus pakar
sejarah, Arnold Toynbee, "In the Prolegomena [Almuqaddimat] to his
Universal History he has conceived and formulated a philosophy of history which
is undoubtely the greatest work of its kind that has ever yet been created by
any time or place." (Lihat, A Study of History: The Growths of Civilization
[New York: Oxford University Press, 1962]). Syamsuddin Arif menyebutnya, Kitab
"Al-Mukaddimah" Karya Ibnu Khaldun tak ubahnya bagaikan kapsul yang
memuat ekstrak prinsip-prinsip yang bekerja di balik aneka manifestasi ilmu
pengetahuan, pencapaian, dan pengalaman manusia dari masa ke masa, (Orientalis
& Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008).
Kepakaran Ibnu Khaldun dari
berbagai disiplin ilmu, terutama sosiologis sudah diakui oleh jumhur ulama dan
ilmuan, karena itulah dia mendapat gelar "Bapak Sosiologi". Kali ini
saya tidak mengangkat masalah sosiologis dalam kitab Al-Muqaddimah, melainkan
pemaparan dan pandangannya terhadap aliran sesat Syiah.
Pada Pasal ke-27, Kitab
"Kerajaan-Kerajaan Secara Umum, Kerajaan, Kekhalifahan, Jabatan
Kepemimpinan, dan Semua yang Berhubungan dengannya.". Dengan tema
"Aliran-aliran Syiah dan Hukum Menegakkan Imamah", Ibnu Khaldun
memulai pembahasannya dengan memaparkan arti Syiah dari segi etimologi dan
terminologi.
Katanya, Asy-Syi'ah secara
etimologi berarti sahabat dan pengikut. Sedangkan dalam terminologi, para pakar
hukum Islam dan pakar ilmu kalam, baik klasik maupun kontemporer diartikan
sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib. Seluruh aliran Syiah bersepakat bahwa
imamah bukanlah kepentingan umum, yang persoalannya diserahkan pada pilihan
masyarakat dan pengangkatannya tergantung mereka. Imamah merupakan salah satu
rukun Islam dan perinsip dalam Islam menurut Syiah.
Tidak seorang Nabi pun--lanjut
Ibnu Khaldun--bagi Syiah boleh melalaikannya dan tidak pula melimpahkannya
kepada masyarakat. Mereka harus mengangkat pemimpin dari golongan mereka
sendiri, dan imam yang diangkat sebagai pemimpin itu harus bersifat ma'shum
atau terbebas dari dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil.
Syiah meyakini, terang Ibnu Khaldun,
bahwa Ali bin Abi Thalib telah diangkat Rasulullah menjadi imam berdasarkan
teks-teks yang mereka kutif dan mereka takwilkan sesuai kehendak, yang sama
sekali tidak dikenal oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, dan tidak pula
terdapat dalam kitab hadis. Teks-teks yang mereka kutip sebagian besar adalah
maudhu' alias palsu belaka, terdapat cela dalam sanadnya, atau terjadi
penakwilan yang menyimpang terlalu jauh. Bagi orang Syiah, teks-teks tersebut
terbagi menjadi dua bagian, jali atau tersurat dan khafi atau tersirat, (Ibnu
Khaldun, Al-Muqaddimah, [terj.], Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001). Penjelasan
Ibnu Khaldun terkait kesesatan Syiah begitu panjang, gamblang, dan sistematis.
Pernyataan di atas sudah cukup
memadai untuk menetapkan bahwa epistemologi akidah syiah sangat rapuh bahkan
tidak berdasar karena berpijak di atas dalil yang absurd.
Segenap ajaran agama Syiah tidak terbangun di atas Al-Qur'an dan hadis sebagaimana dipahami Ahlussunnah, melainkan membangun ajaran sendiri dari dalil yang mereka tafsirkan secara serampangan, dan pada tahap tertentu menciptakan ayat dan hadis palsu untuk menjustufikasi ajaran mereka.
Segenap ajaran agama Syiah tidak terbangun di atas Al-Qur'an dan hadis sebagaimana dipahami Ahlussunnah, melainkan membangun ajaran sendiri dari dalil yang mereka tafsirkan secara serampangan, dan pada tahap tertentu menciptakan ayat dan hadis palsu untuk menjustufikasi ajaran mereka.
Wajar saja, jika pembahasan
masalah Syiah, dalam Al-Muqaddimah, ditutup oleh Ibnu khaldun dengan perkataan,
Allah berkuasa menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
menuju jalan yang lurus kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Maksudnya, Allah menyesatkan
Syiah dan membiarkan mereka terus berkubang dalam kesesatan, dan Allah
senantiasa memberi petunjuk dan jalan yang lurus kepada golongan Ahlussunnah
wal-Jamaah. Wallahu A'lam!
Untuk selengkapnya tentang sejarah dan kesesatan Syiah dapat di download disini.