- Back to Home »
- Seputar Ke-Islaman , Umum »
- Konsep Belajar Menurut Pandangan Islam
Posted by : Ryan95
Tuesday, 26 May 2015
Rasulullah SAW bersabda: “Mencari
ilmu (belajar) wajib hukumnya bagi setiap orang Islam”. Dan pada kesempatan
lain beliau pun pernah menganjurkan, agar manusia mencari ilmu meski berada di
negeri orang (Cina) sekalipun; meski dari manapun datangnya. Hadis tentang
belajar dan yang terkait dengan pencarian ilmu banyak disebut dalam
al-Hadis, demikian juga dalam Al-Qur’an al-Karim. Hal ini merupakan indikasi,
bahwa betapa belajar dan mencari ilmu itu sangat penting artinya bagi umat
manusia. Dengan belajar manusia dapat mengerti akan dirinya, lingkungannya dan
juga Tuhan-nya. Dengan belajar pula manusia mempu menciptakan kreasi unik dan
spektakuler yang berupa teknologi.
Belajar dalam pandangan Islam
memiliki arti yang sangat penting, sehingga hampir setiap saat manusia tak
pernah lepas dari aktivitas belajar. Keunggulan suatu umat manusia atau bangsa
juga akan sangat tergantung kepada seberapa banyak mereka menggunakan rasio,
anugerah Tuhan untuk belajar dan memahami ayat-ayat Allah SWT. Hingga dalam
al-Qur’an dinyatakan Tuhan akan mengangkat derajat orang yang berilmu ke
derajat yang luhur (lihat : Qs. Al- Mujadilah : 11).
Apalagi dalam konsep Islam
terdapat keyakinan yang menegaskan, bahwa belajar merupakan kewajiban dan
berdosa bagi yang meninggalkannya. Keyakinan demikan ini begitu membentuk dalam
diri umat yang beriman, sehingga mereka memiliki etos belajar yang tinggi
dan penuh semangat serta mengharapkan “janji luhur” Tuhan sebagaimana
yang difirmankan dalam ayat-Nya.
Bagaimanakah belajar menurut
tuntutan Islam? Bagaimana konsep dan landasannya? Bagaimana aspek
nilainya. Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Kemudian untuk memulai pembahasannya, di tampilkan beberapa konsep dan
teori-teori belajar menurut konsep barat.
1.
Pengertian Belajar
Dalam konteks pendidikan, hampir
semua aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas belajar. Para Pakar psikologi
saling berbeda dalam menjelaskan mengenai cara atau aktivitas belajar itu
berlangsung. Akan tetapi dari beberapa penyelidikan dapat ditandai, bahwa
belajar yang sukses selalu diikuti oleh kemajuan tertentu yang terbentuk dari
pola pikir dan berbuat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas belajar
ialah untuk memperoleh kesuksesan dalam pengembangan potensi-potensi seseorang.
Beberapa aspek psikologis aktivitas belajar itu misalnya: motivasi, penguasaan
keterampilan dan ilmu pengetahuan, pengembangan kejiwaan dan seterusnya.
Bahwa setiap saat dalam kehidupan
mesti terjadi suatu proses belajar, baik disengaja atau tidak, disadari maupun
tidak. Dari proses ini diperoleh suatu hasil, yang pada umumnya disebut sebagai
hasil belajar. Tapi untuk memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar
harus dilakukan dengan sadar dan sengaja dan terorganisasi dengan baik dan
rapi. Atas dasar ini, maka proses belajar mengandung makna: proses
internalisasi sesuatu ke dalam diri subyek didik; dilakukan dengan sadar dan
aktif, dengan segenap panca indera ikut berperan.
Sumadi Suryabrata (1983:5)
menjelaskan pengertian belajar denganmengidentifikasikan ciri-ciri yang disebut
belajar, yaitu:
“Belajar adalah aktivitas yang dihasilkan perubahan pada diri individu
yang belajar ( dalam arti behavioral changes) baik aktual maupun
potensial; perubahan itu pada pokoknya adalah diperolehnya kemampuan baru, yang
berlaku dalam waktu yang relatif lama; perubahan itu terjadi karena usaha”.
Menurut Begge (1982:1-2), belajar adalah suatu perubahan yang
berlangsung dalam kehidupan individu sebagai upaya perubahan dalam pandangan,
sikap, pemahaman atau motivasi dan bahkan kombinasi dari semuanya. Belajar
selalu menunjukkan perubahan sistematis dalam tingkah laku yang terjadi sebagai
konsekwensi pengaalaman dalam situasi khusus.
Bertolak dari pemahaman di atas
dapatlah ditegaskan, bahwa belajar senantiasa merupakan perbuatan tingkah
laku dan penampilah dengan serangkaian aktivitas misalnya: membaca, mengamati,
mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Dengan demikian, belajar juga bisa
dilihat secara makro dan mikro, luas dan khusus. Dalam arti makro, luas,
belajar dapat diartikan sebagai aktivitas ruhani-jasmani menuju perkembangan
pribadi yang utuh.
Seperti yang dijelaskan oleh
Bloom (1979), bahwa belajar itu mencakup
tiga ruang lingkup, yaitu cognitive domainyang berkaitan dengan
pengetahuan hapalan dan pengembangan intelektual, affective domain, yang
berkaitan dengan minat, sikap dan nilai serta pengembangan apresiasi dan
penyesuaian, psychomotor domain, yang berkaitan dengan prilaku yang
menuntut koordinasi syaraf.
2.
Teori-teori Belajar
Banyak para pakar membuat teori
atau paradigma mengenai belajar ataupun pendidikan, dan mereka saling berbeda
di dalam merumuskan teori atau konsep-konsep itu. Diversifikasi pemahaman itu
dapat kita pahami jika kita lihat dari perspektif filosofisnya. Dan
memang patut diketahui bahwa filsafat merupakan teori umum dan landasan
bagi pendidikan itu sendiri, oleh sebab itu hubungan antara keduanya merupakan
suatu keharusan (condisio sin quanon).
Sebagaimana aliran essensialisme
(yang dibentuk dari idealisme dan realisme), adalah memperhatikan pendidikan dari sisi nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan. Nilai-nilai tersebut diderivasi dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman
renaisance, sebagai pangkal timbulnya (Barnadib, 1988: 38).
Menurut idealisme, bila seorang
belajar, pada tahap awal adalah berarti ia memahami “aku”–nya sendiri, lantas
bergerak keluar untuk memahami dunia objektif, dari mikro kosmos menuju
makro-kosmos. Ini seperti juga yang dijelaskan oleh Kant (1942-1804), bahwa segala pengetahuan yang dicapai manusia
lewat indera memerlukan unsur apriori yang tidak diketahui oleh pengalaman
terlebih dahulu.
Bila seseorang berhadapan dengan
benda-benda, tidaklah berarti bahwa mereka mempunyai bentuk, ruang dan ikatan
waktu, tetapi ruang dan waktu itu sudah budi manusia sebelum ada pengalaman dan
pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi kepada benda,
melainkan benda-benda itulah yang terarah kepada budi. Budi membentuk dan
mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan berpikir diatas,
belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri
sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri
(Pudjawijatno, 1964: 120-121).
Pandangan realisme mengenai
belajar tercermin dalam pandangan atau aliran psikologi behaviorisme,
asosiasionisme atau koneksionisme. A.L. Thorndike, pendukung koneksionisme
misalnya menyatakan, bahwa belajar adalah berbagai kombinasi. Suatu bagian
mental adalah menerima atau merasa, sedangkan bagian fisik adalah suatu
stimulus atau respon. Secara khusus Thorndike melihat bahwa belajar adalah
suatu proses hubungan mental dan fisik dan mental dengan mental atau fisik
dengan fisik. Teori Thorndike ini juga dikenal dengan teori S – R bond (
lihat Bigge, 1982:52-53).
Seorang filsuf dan sosiolog, L.
Finney menjelaskan, bahwa mental adalah
kondisi rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa
saja yang ditentukan oleh peraturan alam (determinsm). Ini berarti bahwa
pendidikan adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan
sosial. Dengan demikian, belajar adalah menerima dengan sesungguhnya
nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi
dan diteruskan oleh angkatan berikutnya. Pandangan realisme ini menceriminkan
adanya dua jenis determinisme, yaitu determinisme mutlak dan determinisme
terbatas. Yang mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal yang
tak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Sedangkan dengan determinisme
terbatas adalah memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
Tuntutan tertinggi dalam
belajar menurut perenialisme adalah latihan dan disiplin mental. Maka teori dan
praktek pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut. Sebagai makhluk,
manusia memiliki kelebihan ketimbang yang lainnya karena anugerah “rasio”-nya.
Rasionalitas ini merupakan sifat umum manusia dan merupakan evidensi diri.
Konsep dasar tentang kebebasan manusia juga lahir dari sifat rasional manusia.
Dengan demikian manusia dapat menghilangkan belenggu penindasan terhadap
dirinya dan mampu menjadi merdeka. Kemerdekaan menjadi tujuan dan dilaksanakan
di dalam pendidikan dan belajar itu. Oleh sebab itu, belajar hakekatnya adalah
belajar berpikir dan menggunakan rasio tersebut.
Menurut perenialisme, belajar adalah bertujuan agar anak didik
mengalami perkembangan kepribadian yang utuh, integral dan seimbang sesuai
dengan pandangannya, bahwa manusia adalah bersifat psiko-somatik (Barnadib,
1988: 77).
Menurut perenialisme, belajar itu
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu belajar karena pengajaran dan belajar
karena penemuan. Belajar karena pengajaran adalah dengan cara guru/ pendidik
memberkan pengetahuan dan pencerahan kepada subyek didik, dengan menunjukkan
dan menafsirkan implikasi dari ilmu pengetahuan yang diberikan. Sedangkan
belajar karena penemuan adalah subyek didik diharapkan dapat belajar atas
kemampuannya sendiri (belajar mandiri ).
Pandangan di atas memang bersifat
humanistik, yang memusatkan perhatian pada interes dan nilai-nilai kepada
manusia. Teori humanisme klasik beranggapan, bahwa pikiran manusia adalah perantara aktif di dalam hubungan antara manusia
dan lingkungannya, dan secara moral pikiran manusia mempunyai sifat dasar
netral sejak lahir (Bigge, 1982: 26). Sifat
netral tersebut maksudnya, bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat tidak jelek
dan juga tidak baik, tetapi ia potensial untuk menjadi buruk atau baik (tidak
ada hubunganya dengan pembawaan lahirnya) (Bigge, 1982: 16). Pandangan di
atas didasari oleh konsep moral manusia, yaitu, bahwa substansi (pikir manusia
adalah netral-aktif, yang harus dikembangkan lewat latihan dan disiplin mental.
Dalam hal ini sebagai aspek yang mendasar adalah reason yang menjadi
manusia mampu mencapai pengertian tentang kebutuhan-kebutuhan dan mampu
menyelaraskan antara tindakan, pengertian serta mampu mengkomunikasikan
pengertian-pengertian tersebut kepada setiap anggota di dalam kelompoknya. Oleh
sebab itu pula, maka pikiran manusia dengan sifat dasarnya yang demikian itu (netral-
active) jika dilatih secara tepat, maka pontensi pembawa lahir akan mencuat
keluar (Bigge, 1982: 26).
Oleh humanisme klasik, belajar
dipandang sebagai proses disiplin diri yang tegas, terdiri dari perkembangan
yang harmonis antara semua kekuatan di dalam diri manusia, Hingga tidak satu
bagian pun yang berkembang melebihi yang lain. Dengan demikian, fungsi seorang
guru adalah untuk membantu para siswa mengenali kembali apa yang telah ada
dalam pikir mereka. Metode ini juga sekedar hanya menarik informasi dari para
siswa dengan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan dengan ketrampilan penuh. Metode
ini didasarkan pada prinsip, bahwa ilmu
pengetahuan adalah pembawaan, yang tak akan muncul tanpa bantuan tenaga ahli
(Bigge, 1982: 28).
Learning
Through Unfoldment atau disebut juga Naturalisme-Romantic mengatakan,
bahwa manusia pada dasarnya adalah baik
dan aktif (good-active). Melalui alam anak akan berkembang secara wajar.
Biarkan anak berkembang sendiri sesuai dengan kodrat alam. Anak harus dijauhkan
dari paksaan. Belajar sendiri sesuai dengan minatnya, ia bebas menentukan
perbuatannya dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya. Teori ini
dikembangkan oleh J.J. Rousseu, kemudian disusul oleh pembaharu pendidikan dari
Swiss, Pestlozzi dan Froebel seorang filosof dari Jerman (Bigge, 1982: 33-34).
Rousseu berpendapat, bahwa secara
heriditi manusia adalah baik dan mempunyai kemampuan yang perlu dikembangkan
secara alamiah. Dia beranggapan bahwa lingkungan yang jelek mampu membuat orang
menjadi jelek pula, sebab lingkungan sosial bukanlah alamiah. Rousseu memberi
saran, agar guru memberikan kebebasan pada siswa untuk mandiri, sehingga
memungkinkan mereka berkembang secara wajar dan alamiah, baik perasaan, naluri
maupun kesadaran mereka.
Disamping Naturalisme-Romantic, terdapat pula
pandangan appersepsi, yang merupakan asosianisme mental dinamis yang didasarkan
pada pemikiran, bahwa tidak ada ide-ide pembawaan lain. Segala sesuatu yang
diketahui orang datangnya dari luar dirinya. Asosionisme merupakan teori
psikologi umum yang di klasifikasikan menjadi dua bagian : pertama,
Asosiasionisme mentalistik awal, yaitu appersepsi yang berfokus pada ide-ide
dalam pikiran; kedua, asosiasinosme stimulus-respon fisikalistik yang lebih
modern (Bigge, 1982: 36).
Perkembangana appersepsi didasari
oleh pemikiran Aristoteles pada abad ke-empat S.S. Kemudian pada abad ke 17
ditentang oleh John Locke dengan mengatakan, bahwa pikiran tidak hanya dipegang oleh seseorang pasti pertama-tama
diperoleh dari indera-inderanya. Teori John Locke ini sangat populer dengan
teori Tabolarasa. Konsep moral appersionisme adalah, bahwa sifat asli
manusia adalah tidak baik dan tidak pula jelek dipandang dari sisi moral dan
tidak pula aktif dipandang dari sisi aksi. Dibaliknya sifat asli manusia
dipandang sebagai netral dari aspek moral dan pasif dari aspek aksi. Dengan
demikian, pikiran merupakan produk dari pengalaman-pengalaman kehidupan (Bigge,
1982: 37).
3.
Prinsip-prinsip Belajar Menurut Islam
a. Al
Qur’an tentang Posisi Manusia
Kita ketahui bersama, bahwa
Al-Qur’an adalah kalam suci Tuhan yang berfungsi sebagai: tanda, petunjuk,
rahmat dan shafaat bagi manusia, berdasarkan penegasan Al Qur’an, (QS.
Al–Isra’: 29 : Ar-Rum : 72). Syafi’i Ma’arif, seperti dikutip dari Ismail R.
Faruqi, menjelaskan, bahwa manusia adalah karya
Tuhan yang terbesar dan terindah dengan struktur mental yang sophisticated dan
spektakuler (QS. At-Tin : 4). Oleh sebab itu, tidak heran pula kalau ada
yang berpendapat, bahwa manusia adalah pencipta kedua setelah Tuhan. Ini bisa
kita saksikan, betapa manusia dianugrahi rasio oleh Tuhan itu bisa menciptakan
kreasi yang canggih berupa sains dan teknologi itu. Sementara malaikat
diperintah sujud kepadanya karena tak mampu melakukan kompetisi intelektual
dengan makhluk manusia yang diciptakan dengan tanah liat kering itu (QS.
Al-Isra’: 28-30; Shad : 71-73) di dalam memahami dunia ciptaan-Nya secara
konseptual (lihat: Syafi’i Ma’arif, 1987: 92).
Kelebihan intelektual inilah yang
membuat manusia lebih unggul dari makhluk lainnya. Tetapi ia pun juga bisa
menjadi dekaden, bahkan lebih hina dari binatang, jika ia berbuat destruktif,
melepaskan imannya (lihat : Qs. At-Tin : 5-6 dan QS. Al-A’raf : 179). Oleh
sebab itu, sebagai makhluk lainnya maka ia dituntut agar dengan sadar bersedia
memikul tanggung jawab moral bagi tegaknya suatu tatanan sosial politik yang
adil dan beradab. Tuntutan itu tercermin dalam beberapa ayat Al-Qura’an surat
An-Nahl : 90 ; Ali-Imron : 104, 114 ; Al-Hajj : 41 ; Al-Ahzab : 72.
Tatanan kehidupan yang bermoral
ini hanyalah mungkin apabila iman sebagai prasyarat mutlaknya diterima dengan
kritis dan sadar. Dalam sistem kepercayaan Islam, iman memberikan fondasi moral yang kokoh, dan di atas fondasi inilah
manusia bisa menciptakan hidup secara imbang (Ma’arif. 1997: 93).
Dalam Islam, strategi
pengembangan ilmu juga harus didasarkan pada perbaikan dan kelangsungan hidup
manusia untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fil-ard) dengan tetap memegang
amanah besar dari Allah SWT. Oleh sebab itu ilmu harus selalu berada dalam
kontrol iman. Ilmu dan iman menjadi bagian integral dalam diri seseorang,
sehingga dengan demikian yang terjadi adalah ilmu amaliah yang berada dalam
jiwa yang imaniah.
Dengan begitu, teknologi, yang
lahir dari ilmu, akan menjadi barang yang bermanfaat bagi umat manusia di
sepanjang masa. Dan inilah yang mesti menjadi tanggung jawab umat Islam. Banyak
sekali Al-Qur’an menjelaskan mengenai hubungan ilmu, amal dan iman ini (lihat
misalnya QS. Al-Baqarah : 82, 227 ; Ali-Imran : 57 ; An-Nisa’ : 57, 122 dan
seterusnya). Dari banyak ayat Al-Qur’an ini kita dapat menarik kesimpulan,
bahwa antara ilmu, amal dan iman menjadi sangat penting bagi umat manusia yang
hendak menjadi khalifah di bumi ini. Dan amal baru bisa dinilai baik, saleh
jika dipancarkan dari iman. Iman memberi dasar moral, amal saleh diwujudkan
dalam bentuk konkret. Jadi terdapat hubungan yang organik antara iman dan amal
salih.
b. Dasar
Belajar dalam Islam
Sebagaimana pandangan hidup yang
dipegang-teguhi oleh Umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul , maka
sebagai dasar maupun filosofi bagi belajar adalah juga diderivasi dari dua
sumber tersebut, yang merupakan dasar dan sumber bagi landasan berpijak yang
amat fondamental.
Tentang dua sumber ajaran yang
fundamental ini, Allah SWT, telah memberikan jaminan-Nya, yaitu jika
benar-benar dipegang teguh, maka dijamin tidak akan pernah sesat dan kesasar,
sebagaimana Nabi pernah bersabda :
“Susungguhnya telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, jika kamu
berpegang teguh dengannya, maka kamu tak akan sesat selamanya, yaitu : Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
Hadis tersebut juga dikukuhkan
oleh banyak Al-Qur’an, antara lain surat Al-Ahzab: 71, Allah berfirman :
“Barang
siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia akan mencapai kebahagiaan
yang tinggi”.
Ayat tersebut dengan tegas
menandaskan, bahwa apabila manusia menata seluruh aktivitas kehidupannya dengan
berpegang teguh kepada prinsip Al- Qur’an dan As-Sunnah, maka jaminan Allah
adalah jalan yang lurus dan tidak akan kesasar, tetapi sebaliknya, jika manusia
tidak menata seluruh kehidupannya dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah
Rasul-Nya, maka kesempitan akan meliputi dirinya, sebagaimana firman-Nya :
“Barang
siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit”. (Qs.
Thaha : 124).
Al-Qur’an
dan Al-Hadis penuh dengan konsep dan tuntutan hidup manusia, begitu juga
mengenai petunjuk ilmu pengetahuan. Jika manusia mau menggal kandungan isi
Al-Qur’an, maka banyak diketemukan mengenai beberapa persoalan yang berkaitan
dengan ilmu (baik ilmu pengetahuan sosial maupun ilmu pengetahuan alam),
Misalnya perhatikan surat Ali Imran : 190-191. Disini dipaparkan tentang kreasi
penciptaan alam oleh Allah SWT. Yang harus direnungkan, demikian pula tentang
kisah dan sejarah umat-umat di masa lampau.
Sebagaimana dikatakan oleh Munawar Anis (1991), bahwa kata ilmu disebutkan
dalam Al-Qur’an mencapai 800 kali, yang berarti hanya berada di bawah konsep
tauhid tingkatan urgensinya. Belum lagi yang disebutkan dalam Al- Qur’an atau
Sunnah Rasul.
c. Tujuan Belajar dalam Islam
Untuk membahas mengenai
aspek-aspek moral dalam belajar, maka kita harus memulai dari pertanyaan: Apa
tujuan belajar itu? Untuk apa belajar itu? karena pertanyaan tersebut
adalah pertanyaan filosofis yang menyangkut segi nilai atau aksiologis.
Dalam Islam, bahwa belajar itu
memiliki dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal dan ketundukan
vertikal. Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar dalam Islam tak berbeda
dengan belajar pada umumnya, yang tak terpisahkan dengan pengembangan
sains dan teknologi (menggali, memahami dan mengembangkan ayat-ayat Allah).
Pengembangan dan pendekatan-Nya secara lebih dalam dan dekat, sebagai rab
al-alamin. Dalam kaitan inilah, lalu pendidikan hati (qalb) sangat dituntut
agar membawa manfaat yang besar bagi umat manusia dan juga lingkungannya, bukan
kerusakan dan kezaliman, dan ini merupakan perwujudan dari ketundukan vertikal
tadi.
Jadi, belajar di dalam perspektif
Islam juga mencakup lingkup kognitif (domain cognitive), lingkup efektif (domain
affective) dan lingkup psikomotor (domain motor-skill). Tiga ranah atau lingkup
tersebut sering diungkapkan dengan istilah : Ilmu amaliah, amal ilmiah dalam
jiwa imaniah. Dengan demikian, untuk apa belajar Belajar adalah untuk
memperoleh ilmu. Untuk apa ilmu? Untuk dikembangkan dan diamalkan. Untuk apa?
Demi kesejahteraan umat manusia dan lingkungan yang aman sejahtera. Berdasarkan
apa? Pertanggungjawaban moral.
d. Mengembangkan
Ilmu
Kenyataan memang tidak dapat
dipungkiri, bahwa ilmu selalu berkembang hingga sekarang. Dari tahapan
pemikiran yang paling mitis hingga yang serupa rasional. Atau kalau meminjam
terminologi Peursen, dari yang Mitis, ontologis, hingga fimgsional, sedang
menurut Comte, dari yang mitis, metafisik hingga positif.
Perkembangan industri di abad
ke-18 yang telah menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik telah
melahirkan cabang Ilmu yang disebut sosiologi. Penggunaan senjata nuklir
sebagaimana pada abad 20, telah melahirkan ilmu baru yang disebut dengan
polemogi, dan seterusnya entah apa lagi nanti namanya. Sofestikasi dari sains
dan teknologi di era modern ini sesungguhnya juga merupakan elaborasi dari ilmu
itu sendiri. Itulah sebabnya menurut Koento Wibisono, (1988: 8) begitu sulitnya
mendifikasikan ilmu sekarang ini. Para penganut metodologi akan menyatakan,
bahwa ilmu adalah sistem peryataan-peryataan yang dapat diuji kebenaran dan
kesalahannya, sementara penganut heuristik akan menyatakan, bahwa ilmu adalah
perkembangan lebih lanjut bakat manusia untuk menentukan orientasi terhadap
lingkungannya dan menentukan sikap terhadapnya.
Dalam pada itu, ilmu juga sering
dipahami dari dimensi fenomenal dan strukturalnya. Dari dimensi fenomenalnya ia
merupakan masyarakat atau proses dan juga produk. Ilmu sebagai masyarakat menggambarkan
adanya suatu kelompok elit yang di dalam kehidupannya sangat mematuhi
kaidah-kaidah: universalisme, komunilisme, desintestedness dan skepsisme
yang teratur. Ilmu sebagai proses, menggambarkan aktivitas masyarakat ilmiah
sebagai produk adalah merupakan hasil yang dicapai oleh kegiatan tadi yang
berupa : dalil, teori, ajaran, karya-karya ilmiah beserta penerapanya yang
berupa teknologi ( Koento Wibisono, 1988: 9) Dari dimensi strukturalnya, apa
yang disebut sebagai ilmu adalah sesuatu yang menunjukkan adanya
komponen-komponen: objek sasaran yang ingin diketahui yang terus menerus
diteliti dan dipertanyakan tanpa mengenal henti.
Kini kita harus berfikir terus
dan berupaya untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu, lebih-lebih ilmu sebagai
proses. Bagaimana formulasi-formulasi yang telah ditunjukan oleh para para
pendahulu kita itu diaktualisasikan untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut.
Dalam konteks Islam,
ketertinggalan kita di bidang sains dan teknologi adalah persoalan yang sudah
terbuka mata. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Ahmad Anees (19-91), bahwa
salah satu gagasan yang paling canggih, komperehensif dan mendalam yang dapat
ditemukan dalam Al- Qur’an adalah konsep’ilm, yang tingkat urgensinya hanya di
bawah konsep tauhid. Pentingnya konsep ilmu tersebut terungkap didalam
kenyataan, bahwa Al-Qur’an menyebut kata akar dan kata keturunannya sekitar 800
kali. Konsep ilmu ini juga membedakan pandangan-dunia (world-view) Islam dari
pandang ideologi lainnya: tidak ada pandangan dunia lain yang membuat pencarian
ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial serta memberikan arti moral dan
religius serta ibadah. Karena itu ilmu berfungsi sebagai tonggak kebudayaan dan
peradaban muslim yang ampuh. Tidak ada peradaban lain dalam sejarah yang
memiliki konsep “pengetahuan” dengan etos (ruh) yang paling tinggi sebagaimana
Islam. Ilmu memang mengandung unsur dari apa yang selama ini kita pahami
sekarang sebagai pengetahuan, tetapi ia juga mengandung komponen-komponen dari
apa yang secara tradisional dideskripsikan sebagai hikmah. Disamping itu, ilmu
dalam Islam juga memiliki aspek ibadah, yaitu bahwa menuntut ilmu merupakan
bentuk ibadah. Dari sisi lain, ia juga memiliki tujuan untuk menjadi kholifah
fil-ard, manusia yang diserahi amanah Tuhan untuk mengelola dan memelihara
alam, oleh sebab itu ia pun memiliki tanggung jawab di hadapan Allah SWT.
Konsep Al-Qur’an tentang akhirat
membatasi ilmu agar selalu menjamin relevansi, kegayutan moral sosialnya.
Dimensi-dimensi ilmu tersebut dari sekian banyak dimensi lainnya melukiskan
sifat kecanggihan dan komplesitas dari Islam tentang ilmu itu sendiri (lihat,
Anwar Anees, 1991:93).
Dengan demikian, strategi
pengembangan ilmu harus mengintensifkan dan mengekstensifkan belajar atau
pendidikan itu sendiri, dengan berbagai sarana dan presaranannya. Sebab dalam
Islam, pendidikan dan belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim (baik
laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda dan dilakukan sepanjang masa).
Sebagai sabda Nabi : “Mencari ilmu itu
wajib bagi setiap muslim”.
Sebagaimana disinggung di depan,
bahwa belajar dalam Islam adalah untuk memperoleh ilmu, mengembangkan dan
mengamalkan demi kepentingan kesejahteraan umat manusia. Atau kalau dirumuskan
secara simpel, tujuan belajar adalah : Untuk mengabdikan kepada Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya :
“Dan tidak aku jadikan manusia kecuali hanya untuk menyembah
kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyat : 56).
Oleh sebab itu segala aktivitas
yang berkaitan dengan ilmu dan pengembangannya harus dipertanggung-jawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.
e. Aspek
Moral dalam Belajar
Karena pendidikan dan belajar
dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan mengabdi kepada Allah SWT,
maka sistem moralnya juga harus diderivasi dari norma-norma Islam tersebut,
atau wahyu.
Seperti yang dijelaskan oleh
Sayid Abul A’la Al-Maududi (lihat, M. Arifin, 1991:142), bahwa sistem
moral Islam ini memiliki ciri-ciri yang komprehensif, yang berbeda dengan
sistem moral lainnya. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut :
Keridaan Allah merupakan tujuan
hidup Muslim. Dan keridaan Allah itu menjadi jalan bagi evolusi moral
kemanusiaan. Sikap mencari rida Allah memberikan sanksi moral untuk mencintai
dan takut kepada-Nya, yang pada gilirannya mendorong manusia untuk mentaati
hukum moral tanpa paksaan dari luar, Dengan dilandasi dengan iman kepada Allah
dan hari kiamat, manusia terdorong untuk mengikuti bimbingan moral secara sungguh-sungguh
dan jujur, seraya berserah diri secara iklas kepada Allah SWT ;
Semua lingkup kehidupan manusia
senantiasa ditegakkan diatas moral Islami sehingga moral Islam tersebut
berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan manusia, sedang hawa nafsu dan kepentingan
pribadi tidak diberi kesempatan menguasai kehidupan manusia. Moral Islam
mementingkan keseimbangan dalam semua aspek kehidupan manusia: indivudual
maupun sosial.
Islam menuntut manusia agar
melaksanakan sistem kehidupan yang berdasarkan norma-norma kebajikan dan jauh
dari kejahatan. Islam memerintahkan perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi
perbuatan munkar, bahkan memberantas kejahatan dalam segala bentuknya. Beberapa
hal di atas di dasarkan atas dalil Al-Qur’an antara lain surat Ali- Imran : 110
:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah….”
dan juga QS. Al-Hajj : 41).
Dengan demikian, sistem moral
dalam Islam berpusat kepada sikap mencari rida Allah, mengendalikan nafsu
negatif dan kemampuan berbuat kebajikan serta menjauhi perbuatan keji dan jahat
dan pribadi yang berkhlaq mulia.
Dalam pandangan Islam,
kecenderungan teosentris adalah merupakan sesuatu yang harus ada, yaitu bahwa
Allah adalah Zat Yang Wujud, Yang Maha Mengetahui dan segala sumber dari ilmu
pengetahuan. Ini sangat berbeda dengan konsep barat yang sekuler. Karena sumber
pengetahuan dalam Islam adalah kesadaran Yang Kudus pula (Seyyed Hossein Nasr,
1970: 22 dan lihat pula C.A Qadir, 1989: 5).
Seperti yang dijelaskan di depan,
bahwa menurut teori kependidikan yang berdasarkan pandangan psikologi
mekanistik, sejak John Lock pada abad 17 sampai aliran Bahaviorisme dari J.B.
Waston abad 20 terdapat pandangan, bahwa manusia dalam batas-batas kemampuan
fisiknya dapat dibentuk melalui cara-cara yang terbatas. John lock berpendapat,
bahwa jiwa itu bagaikan meja lilin (tabularasa) yang bersih dari goresan.
Pengalamanlah yang membentuk kepribadiannnya. Behavviorsme juga berbuat sama,
dengan konsep S – R bond-nya.
Dalam sistem nilai dari paham
naturalisme juga diorientasikan pada alam (naturo-centris): jasmaniah, panca
indera, kekuatan, kenyataan, survival, organisme dst. Oleh sebab itu
naturalisme menolak hal-hal yang bersifat moral dan spiritual, sebab paham ini,
bahwa kenyataan/ realistas yang hakiki adalah alam semesta yang bersifat fisik
dan inderawi. Naturalisme dekat dengan materalisme yang menafikan nilai-nilai
manusia.
Kebalikan dari paham di atas
adalah idealisme, yang memandang realitas yang hakiki ada pada ide yang
terdapat dalam jiwa atau spirit manusia. Idialisme berorientasi pada ide-ide
ketuhanan dan nilai-nilai sosial.
Tetapi perlu diketahui, bahwa
meskipun idealisme berorientasi kepada ideal-spiritual, ia bukanlah agama,
idealisme hanyalah merupakan salah satu basis dari agama. Menurut Horne,
idealisme sebagai filsafat adalah sistem berpikir manusia (man-thinking),
sementara agama adalah sistem peribadatan manusia (man– worshipping). Filsafat dan agama mempunyai hubungan erat,
tetapi tidak identik (lihat M. Arifin, 1991:149).
Nilai-nilai pendidikan menurut
kaum idealisme adalah pencetusan dari sususan atau sistem yang kekal abadi yang
memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Kewajiban manusia dan pendidikan adalah
berusaha mengaktualisasikan nilai tersebut. Filsafat pendidikan Islam dalam
beberapa aspek pendekatan memang memiliki prinsip-prinsip yang simbiotik dengan
idealisme, terutama idealisme spiritualistik. Idealisme juga mengakui adanya
zat yang Maha Tinggi yang menciptakan realitas alam serta menggerakkan
hukum-hukumnya termasuk sanksi-sanksinya. Tetapi ada titik perbedaan yang cukup
tajam yang terletak pada sanksi moral sebagai konsekwensi. Bagi kaum idealisme,
sanksi moral terletak pada siksa Tuhan dan balasan perbuatan yang bermoral baik
adalah pahala dari-Nya kelak di hari kiamat. Kualifikasi moral dalam Islam
adalah sumber dari Tuhan dan bagi setiap orang sanksi hukuman tergantung kepada
sejauh mana porsi perbuatan yang dilanggarnya (M. Arifin, 1991: 150-151) dan
bukankah Nabi diutus untuk menyempurnaka akhlak-karimah?
Jadi, dalam kosepsi Islam,
belajar itu diajarkan mengenai masalah pahala, dosa; sorga dan neraka. Oleh
sebab itu setiap perbuatan haruslah dapat dipertanggung jawabkan di sisi Tuhan,
sebagaimana firman-Nya :
“….
Ia mendapat pahala ( dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat
siksa (dari kejahatan) yang diperbuatnya pula ……..” (QS.
Al- Baqarah : 286).
Daya pancar dari sistem nilai
yang menerangi moralitas manusia menurut pandangan Islam adalah bersumber dari
Allah yang digambarkan dalam surat Al-Maidah : 115-116:
“….Sesungguhnya telah datang kepadamu dari Allah kitab yang menerangi”.
Dengan kitab itulah Allah menjuluki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya
kejalan keselamatan, dan, (dengan kitab-kitab itu pula) Allah mengeluarkan
orang-orang itu dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
“Dan barang siapa beriman kepada Allah, Allah akan menunjuki hatinya”.
(QS. At-Taghabun : 11)
Beberapa keterangan di atas
semakin menunjukkan kejelasan kepada kita, bahwa konsep kependidikan dan
kejelasan kepada kita, bahwa konsep kependidikan dan belajar dalam Islam sangat
berbeda dengan konsep pendidikan dan belajar menurut teori-teori Barat yang
sekuler lebih bersifat profan dan antroposentrik. Sementara konsep Islam sangat
integral, disamping profan juga transendental dan teosentrik yang
menempatkan posisi manusia pada porsi yangbalance, Rabbana atina fiddunya
hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabannar,
KESIMPULAN
Belajar adalah serangkaian
aktivitas manusia yang menyangkut: pemahaman, pendengaran dan peniruan untuk
memperoleh suatu pengalaman atau ilmu baru. Lingkup belajar mencakup : kognisi,
afeksi dan psikomotor.
Dalam Islam, belajar adalah
serangkaian aktivitas manusia yang menyangkut tiga ranah di atas (kognisi,
afeksi dan psikomotor) berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Islam,
belajar merupakan kewajiban setiap muslim ( baik laki-laki maupun perempuan).
Dan hasil dari belajar (ilmu), harus diamalkan baik untuk diri sendiri maupun
bagi orang lain. Pengalaman ilmu harus dilandasi dengan iman dan nilai-nilai
moral. Oleh sebab itu, dalam konsep Islam, belajar memiliki dimensi tauhid,
yaitu dimensi dialektika horizontal maupun ketundukan vertikal.
Dalam dimensi dialektika
horizontal, belajar dalam Islam tak berbeda dengan belajar pada umumnya, yang
tidak terpisahkan dengan pengembangan sains dan teknologi (menggali, memahami
dan mengembangkan) intelektual ke arah pengenalan dan pendekatan diri pada
Tuhan Yang Maha Agung (divine-unity). Ini juga berarti, bahwa belajar dalam
Islam bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan umat manusia dan lingkungannya
dengan motivasi ibadah (lihat, QS. Az-Zariayat : 56). Oleh sebab itu segala
aktivitas yang berkaitan dengan ilmu dan pengembangannya harus
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah
SWT. ( Lihat, QS Al-Baqarah : 286).
Karena pendidikan dan belajar
dalam Islam bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan mengabdi kepada Allah SWT,
maka sistem moralnya pun harus di bangun dan bersumber dari norma-norma Islam
tersebut (wahyu).
Filsafat pendidikan Islam berbeda
dengan filsafat pendidikan Barat yang sekuralistik, yang meletakkan sanksi
moral terletak pada susunan dunia moral itu sendiri, sementara dalam Islam
sanksi moral terletak pada siksa Tuhan di kelak kemudian, demikian pula balasan
kebaikannya. Dengan demikian konsep pendidikan dan belajar dalam Islam bercorak
transendental dan teosentris yang menempatkan manusia pada posisi yang
seimbang dan serasi.