- Back to Home »
- Folklore , Sejarah »
- Joko Budug dan Ratu Kemuning
Posted by : Ryan95
Saturday, 23 May 2015
A. LATAR
BELAKANG
Kabupaten
Ngawi adalah sebuah kabupaten di bagian barat Provinsi Jawa Timur, yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Kata Ngawi berasal dari “Awi”, yang berarti bambu. Hal ini karena,
berdasarkan pendapat penduduk wilayah ini, wilayah Ngawi banyak terdapat pohon
bambu.
Kota yang berbatasan langsung
dengan Provinsi Jawa Tengah ini, memiliki potensi pariwisata yang cukup
beragam. Salah satunya adalah objek wisata Gunung Liliran yang
jaraknya kurang lebih 47 kilometer dari kota Ngawi(Kecamatan Ngawi). Wilayah
ini tepatnya terletak di Desa Ketanggung, Kecamatan Sine. Gunung Liliran
merupakan objek wisata alam dan spiritual. Gunung Liliran memiliki latar
belakang alam pegunungan yang sangat indah. Sejauh jangkauan pandang akan
nampak hamparan sawah hijau dan sungai yang meliuk kearah utara menuju Bengawan
Solo. Selain alamnya yang menarik, di tempat ini juga digunakan sebagai ritual
setiap tanggal 1 Muharram (1 Syuro, menurut penanggalan Jawa). Selain itu, tempat
ini banyak dikunj, Joko Budug mampu menyembuhkan sang putri namun kemudian ia
dibunuh oleh patih raja. Sebelum meninggal ia bersumpah hanya mau dikuburkan
apabila telah dinikahkan dengan sang putri. Sang putri yang berduka melarikan
diri dari istana, dan akhirnya menghembuskan nafas di gunung Liliran. Akhirnya
sepasang kekasih tersebut dimakamkan di gunung Liliran. Sejak saat itulah
masyarakat menganggap tempat ini sebagai tempat keramat mengingat latar
belakang sejarahnya.
B. KISAH
JOKO BUDUG DAN PUTRI KEMUNING
Pada suatu zaman di daerah Ngawi,
Jawa Timur, terdapat seorang raja bernama Prabu Aryo Seto yang bertahta di
Kerajaan Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan
bijaksana. Ia mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Putri
Kemuning. Menurut penduduk daerah Sine, Ngawi, tubuh sang Putri sangat harum seperti
Bunga Kemuning. Suatu hari, Putri Kemuning tiba‐tiba terserang penyakit aneh. Tubuhnya
yang semula berbau harum, tiba‐tiba
mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Prabu Aryo(ayah
Putri Kemuning) menjadi sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau
pemuda yang mau menikahi putrinya itu.
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh Prabu Aryo, seperti memberikan putrinya obat‐obatan tradisional
berupa Daun Kemangi dan Beluntas. Namun penyakit anaknya belum juga sembuh. Kemudian,
Prabu Aryo mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya. Namun tidak ada seorang
pun yang mampu menyembuhkan sang Putri. Akibatnya, perasaan Prabu Aryo Seto
semakin resah. Ia sering duduk melamun seorang diri memikirkan nasib malang
yang menimpa putri semata wayangnya. Suatu ketika, tiba‐tiba terlintas dalam pikirannya
untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar
penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan.
Pada saat tengah malam, Sang
Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah
ruang tertutup di dalam istana. Pada saat ia larut dalam semedi, tiba‐tiba terdengar suara
bisikan yang sangat jelas di telinganya. “Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto!
Satu‐satunya obat yang dapat
menyembuhkan penyakit putrimu adalah Daun Sirna Ganda. Daun itu hanya tumbuh di
dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti
dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” demikian pesan yang disampaikan
oleh suara gaib itu.
Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto
segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun‐alun untuk mengadakan sayembara:
“Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua
tentu sudah mengetahui tentang penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku
mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna ganda
yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat
mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki‐laki akan kunikahkan dengan putriku.
Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,”
Mendengar pengumuman itu, seluruh
rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun
tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani
mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh
seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang
menjadi korban keganasan naga itu. Meskipun demikian, banyak pula warga yang
memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah
yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi
menantu atau pun anak angkat raja. Salah seorang pemuda yang ingin sekali
mengikuti sayembara tersebut adalah Jaka Budug.
Jaka Budug adalah pemuda miskin
yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di
dalam wilayah Kerajaan Ringin Anom. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai
penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh Penyakit Budug(Gudig). Penyakit
aneh itu sudah dideritanya sejak masih kecil. Meskipun demikian, Jaka Budug
adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris
pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin
sekali menolong sang Putri. Selain itu menurut pendapat warga setempat, Jaka
Budug adalah keturunan dari raja Majapahit pada masa kemundurannya.
Karena keadaan pada dirinya, Jaka Budug pun malu untuk menemui raja dan berkumpul
dengan para peserta sayembara. Sementara itu, para peserta sayembara telah
berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari
pertama hingga hari keenam sayembara itu dilangsungkan, belum satu pun peserta
yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar
kabar itu.
Pada hari ketujuh, Jaka Budug
dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu.
Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu. “Ampun,
Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban Sang
Putri,” pinta Jaka Budug. Prabu Aryo Seto tidak menjawab. Ia terdiam sejenak
sambil memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik‐bintik merah. “Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa
mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu. “Hamba Jaka Budug, Baginda.
Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka
Budug seraya menunjukkan keris pusakanya kepada Sang Prabu.
Pada awalnya, Prabu Aryo Seto ragu‐ragu dengan kemampuan
Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekad
yang kuat, akhirnya Sang Prabu menyetujuinya. “Baiklah, Jaka Budug! Karena
tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” ucap Sang
Prabu. Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad membara. Ia
harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah
berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia
melihat semburan‐semburan api yang keluar dari mulut naga
sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan
keris pusakanya. Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat
hati‐hati. Begitu ia mendekat, tiba‐tiba naga itu menyerangnya dengan
semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan
itu. Naga itu terus bertubi‐tubi menyerang sehingga Jaka Budug
terlihat sedikit kewalahan. Lama‐kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun habis.
Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera
menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh
naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang
terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari Penyakit Budug(Gudig).
Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga
itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga
darah memancar dengan derasnya. Beberapa saat kemudian, naga sakti itu pun
tewas seketika. Jaka Budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke
seluruh badannya yang terkena penyakit budug. Akibtanya, seluruh badannya
menjadi bersih dan halus serta tidak ada sedikit pun bintik‐bintik merah yang tersisa. Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda
yang sangat tampan.
Setelah
memetik beberapa lembar Daun Sirna Ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang
ke istana dengan perasaan gembira. Setelah tiba di istana, Prabu Aryo Seto
tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan
wajahnya tampan. Prabu Aryo hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu
Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang
dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, Prabu Aryo percaya dan terkagum‐kagum. Jaka Budug kemudian mempersembahkan Daun Sirna Ganda yang
diperolehnya kepada Sang Prabu. Lalu, Putri Kemuning kembali sehat setelah
memakan Daun Sirna Ganda itu.
Setelah itu,
tubuh Sang Putri kembali berbau harum seperti Bunga Kemuning. Setelah peristiwa
itu, Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara
tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera akan menikahkan Jaka Budug
dengan putrinya, Putri Kemuning. Kemudian, Prabu Aryo Seto memerintahkan Patih
kerajaan untuk menjemput dan memandikan Jaka Budug. Karena Sang Patih memiliki
pendengaran yang tuli, maka ia mengira bahwa raja memerintahkannya untuk
membunuh Jaka Budug. Setelah menjemput Jaka Budug, dalam perjalanan Sang Patih
pun membunuh dan menghabisi Jaka Budug di Sendang Gampingan.
Setelah
kematiannya, Jaka Budug dibuatkan lubang kubur sepanjang orang biasa. Namun,
jasadnya tidak muat jika dimasukkan kedalam lubang kuburan. Akhirnya, para
penggali kubur pun menambah penjangnya hingga mencapai 11 meter. Menurut
penduduk sekitar, hal ini terjadi karena adanya pelanggaran terhadap janji raja
yang akan menikahkan Putri Kemuning kepada Jaka Budug. Akibatnya, Putri
Kemuning pun juga melarikan diri dari istana dan melakukan aksi bunuh diri di
Gunung Liliran. Setelah adanya kejadian itu, kedua calon suami istri ini pun
dimakamkan di tempat yang sama yaitu di Gunung Liliran, Dukuh Gamping,
Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi.
Sampai
sekarang Makam Joko Budug yang berada di Gamping, Gunung Liliran banyak dikunjungi
oleh peziarah dari berbagai kalangan masyarakat. Hal itu dilakukan terutama
pada malam Jum’at Legi dan bulan Suro. Mereka beranggapan bahwa makam ini mampu
memberikan sebuah keberkahan kepada seseorang yang berdoa di atasnya.
C. KESIMPULAN
Kisah Jaka
Budug bukan hanya kisah percintaan biasa. Hal ini karena kisah ini merupakan
sebuah perjalanan yang menceritakan kisah laki-laki dan perempuan yang sangat
tragis dan penuh pembelajaran. Selain itu, beberapa tokoh luar biasa juga melatar
belakangi mitos terjadinya beberapa tempat di Ngawi terutama di daerah Kecamatan Sine dan
sekitarnya.
Dalam kisah ini
juga mengandung nilai-nilai filsafat sosial, ritual mistis dan hubungan etik, serta
masalah-masalah pikiran pokok manusia yang sulit di temukan jawabannya hingga
sekarang. Selain itu, kisah ini juga melebihi segala kisah sejarah
yang terdapat di kota Ngawi. Bagi masyarakat Sine dan sekitarnya,
kisah ini merupakan hikayat terbesar,yang akan terus di ceritakan dari mulut ke
mulut hingga mencapai klimaks dalam kisah kesalah-fahaman yang menakjubkan.
Semoga artikel ini bermanfaat!!!
Silahkan berkomentar meskipun artikel ini kurang berguna.... :)
Semoga artikel ini bermanfaat!!!
Silahkan berkomentar meskipun artikel ini kurang berguna.... :)